Anda berada di :
Rumah > Artikel Dan Opini > Slendro Dan Koplak, Kita Berada Dimana ?

Slendro Dan Koplak, Kita Berada Dimana ?

Dilihat 1551

Cahayapena – Slendro merupakan gambaran penyimpangan perilaku terhadap sesuatu yang sudah ada.  Slendro bermakna memiliki kecenderungan tidak sama dengan kebanyakan orang sehingga dibilang pemberontak atau “Keluar dari Pakem”. Slendro cenderung bermakna perlawanan terhadap tatanan yang dianggap tidak benar. Kesannya melawan arus, padahal sejatinya perilaku ini adalah perilaku konsisten melawan ketidakbenaran. Slendro itu memiliki kecendrungan tidak sama dengan kebanyakan orang pada umumnya.

 

Slendro dalam gamelan Jawa  adalah nada dasar asli dalam gamelan Jawa (Pentatonis). Semenjak datangnya Islam di Jawa, maka muncul nada “Pelog” (yang berarti pelo atau miring). Jadi nada dasar Slendro adalah nada JEJEG atau Lurus. Pelog = Pelo = Miring, artinya bukan dikaitkan dengan Agama Islam secara Harafiah. Tetapi nada Arab itu tidak sama dengan nada Asli Jawa (Slendro), Maka dibuatlah Nada Pelog. Pelog ini bagi orang Jawa Asli , memberikan suatu momentum bahwa Jawa dan Islam (Arab) bisa berjalan bersama, tetapi tidak bisa bercampur. Artinya: anda  bisa memeluk agama Islam, tapi lebih mampu bersetubuh dengan Jawa. Jadi, anda  masih orang Jawa, dan tidak bisa meninggalkan budaya Jawa itu. Budaya welas Asih, gotong royong, ora gampang nesu, ora gampang pinginan, ora gampang gawe lara atine uwong. Tapi anda adalah islam. Namun disana ada nilai yang sama yaitu kebenaran nilai yang tidak bisa didikotomi.

 

Kata slendro sebagai konotasi tidak sama dengan pakem, sebetulnya sekarang ini yang dianggap wajar dimasyarakat adalah cenderung keliru. Jadi, slendroisme ini adalah suatu bentuk pemberontakan atas ketidakwajaran yang ada sekarang. Namun, karena sering berbeda maka sering dianggap cara berpikir yang “aneh” padahal sebetulnya “lugu”. Slendro adalah sikap cerdas untuk menjawab kekeliruan sistim dengan cara yang tak lazim,  sebagaimana dilakukan oleh Cak Durasim,  ketika melawan penjajahan Jepang dengan kidungannya bekupon omahe doro,  melu nippon tambah soro.

 

Berbeda dengan ” Koplak “. Koplak masuk ke dalam bahasa gaul atau bahasa ABG yaitu ragam bahasa Indonesia nonstandar yang lazim digunakan oleh anak muda. Sintaksis dan morfologi ragam ini memanfaatkan sintaksis dan morfologi bahasa Indonesia. Koplak sendiri bermakna gokil, tapi sedikit lebih negatif dan terkesan lebih goblok, biasanya karena orang melakukan kelalaian tapi gak selalu. Sehingga koplak cenderung melakukan hal yang bodoh terhadap aturan yang ada.

 

Koplak menunjuk pada sikap sengaja melawan sesuatu nilai yang sudah benar.  Misalnya kita melawan arus dalam berkendaraan,  kita tahu bahwa itu dilarang,  dan akibatnya berbahaya,  tapi tetap kita lakukan. Koplak lebih cenderung pada pemuasan diri tapi melanggar nurani. Freud menyebutnya sebagai “id ” pemuasan libido yang mengabaikan superego dalam pemuasannya.

 

Perilaku ” koplak ” cenderung merusak. Karena koplak memang dilkakukan untuk merusak tatanan yang ada dengan kebodohan yang dimiliki. Satu contoh perilaku ” koplak ” dalam kehidupan sosial kita adalah bahwa kita meyakini bahwa dicubit itu sakit,  maka kita tak akan mencubit,  tapi kita tetap mencubit hanya karena kita ingin memuaskan libido.

 

Apa yang bisa kita lakukan menghadapi perilaku koplak?

 

Koplak adalah perilaku sengaja dilakukan untuk merusak tatanan. Tentu yang diharapkan perilaku ini adalah kegaduhan dalam bersosial.  Menghadapi perilaku seperti ini sejatinya dibutuhkan sebuah kecerdasan mengelola diri. Kecerdasan itu berupa bagaimana memainkan perasaan kita untuk menikmati alur dan sesekali melakukan koreksi dengan memasuki alam pikiran lawan. Janganlah banyak menanggapi,  karena semakin ditanggapi akan semakin menjadi.  Sehingga menghadapinya adalah dengan lapang dada dan diikuti.

 

Koplak merupakan gejala penyakit mental yang berkecenderungan menikmati pelanggaran dan kegaduhan. Dibutuhkan pendekatan dari hati untuk mengingatkannya. Sehingga kebutuhan menyamakan pikiran dan rasa mutlak dibutuhkan. Hal yang paling ekstrim bila sudah tak bisa disatukan maka sebaiknya dihindari,  agar tidak menjadi persoalan dalam meraih masa depan.

 

Masa depan itu sebuah keniscayaan,  akan terus bergerak,  siapapun yang masih terjebak dengan bayang bayang masa lalu,  sesungguhnya masa lalu itu sudah lewat,  kita memang perlu belajar dari masa lalu,  menjadikan masa lalu sebagai sebuah pegangan merangkai masa depan adalah sebuah keniscayaan,  tetapi menjawab masa depan dengan masa lalu,  akan menjadikan kita terlindas oleh zaman.

 

Semoga saja kita bisa dihindarkan dari perilaku yang menyusahkan orang lain.  Aamien.

 

Assalammualaikum wr wb…. Selamat beraktifitas dan menjalani hidup dengan kewajaran dan berbagi kebaikan.

 

Surabaya,  11 Juni 2018

 

  1. Isa Ansori

 

Pegiat penulisan dan pembelajar, Anggota Dewan Pendidikan Jatim,  Staf Pengajar Ilmu Komunikasi Untag 1945 Surabaya

Bagikan Ini, Supaya Mereka Juga Tau !

Tinggalkan Komentar

Top

Marhaban ya Ramadhan


 

This will close in 10 seconds