Rebutan Rasa Artikel Dan Opini by Pimred - Juli 10, 20180 Rasa adalah bagian dari indera manusia. Rasa pada setiap orang bisa jadi berbeda satu sama lain, meski obyeknya sama. Garam bagi orang sehat akan terasa asin, tapi bagi mereka yang inderanya mengalami gangguan, garam tak akan terasa asin. Sehingga menjadikan rasa sebagai pegangan dalam menentukan rasa sesuatu, akan bergantung pada situasi perasaan setiap orang. Sama halnya ketika anda berada disebuah rumah sakit jiwa, setiap pasien yang sakit jiwa akan selalu tersenyum dan tertawa melihat anda, karena anda dianggap berbeda, sehingga mungkin dalam anggapan para pasien rumah sakit jiwa yang mengalami gangguan kejiwaan adalah anda. Begitu juga kalau anda lihat anak anak sedang bermain dan berebut mainan. Apa yang anda lihat? Mereka tidak akan ada yang saling mau mengalah, karena diantara mereka saling merasa benar. Benar kalau diukur dari sudut rasa, maka kebenaran itu akan menjadi terbatasi oleh pemilik rasa. Kebenaran itu akan menjadi sangat relatif dan cenderung menjadi tidak benar. Karena rasa benarnya akan berubah ubah bergantung pada pemilik rasa. Karena ukurannya rasa, maka kebenaran itu tak ubahnya seperti berkesenian atau berkebudayaan, bisa jadi disebuah tempat sebuah seni dan sebuah laku kebudayaan itu bisa diterima kebenarannya, tapi belum tentu bisa diterima ditempat lain. Kebudayaan tentu berbeda dengan sebuah kepercayaan, kebudayaan itu mengatur pada tata perilaku hubungan manusia dengan lingkungannya, sedangkan kepercayaan itu mengatur laku hubungan manusia dengan Tuhannya dan lingkungannya. Dalam kebudayaan seseorang bisa bebas dalam melakukan kerja kerja kemanusiaan sesuai dengan hasil cipta karsa dan rasanya. Tapi ketika terhubung dengan persoalan transendental, maka tidak setiap laku bisa dijalankan. Sehingga kepercayaan itu tidak bisa diproduk oleh sebuah kebudayaan, kepercayaan itu timbul akibat rasa ketakberdayaan kita dan mengakui adanya sesuatu diluar kita sebagai sebuah kekuatan yang memberi energi kehidupan. Seringkali orang menyebutnya sebagai ” Tuhan “, ” Dewa ” atau ” Sang Hyang “. Semakin manusia memerlukan kehadiran Nya maka akan semakin merasa tak berdaya dihadapan Nya. Ketakberdayaan dan kebutuhan menghadirkan , merupakan perpaduan rasa dan rasio yang itu akan menjadi kesadaran. Sehingga orang berkepercayaan atau beragama tentu dilakukan dengan sebuah kesadaran. Kebenaran ajaran sebuah agama tidak bisa diukur dari rasa, tapi juga harus melibatkan rasio yang kemudian akan muncul kesadaran. Kesadaran hanya akan tumbuh dan dimiliki oleh mereka yang jiwanya menjadi dewasa. Dewasa merupakan sebuah produk kesadaran manusia yang menimbulkan cara berpikir yang rasional, bijak, mampu menghargai, menghormati dan bisa memahami orang lain. Sebaliknya mereka yang mau menangnya sendiri, merasa benar sendiri, menganggap yang berbeda adalah salah dan musuh adalah akibat cara berpikir kekanak kanakan. Nah kawan… Betapa saat ini kita disuguhi oleh sebuah atraksi mereka yang beragama merasa keyakinannya paling benar dan yang berasal dari luar dianggap tidak benar dan bahkan menyalahkannya, padahal kita mesti harus menyadari teks asli keagamaan sangat dibutuhkan, karena ini akan menunjukkan keorisinilan sebuah agama. Sebuah agama yang sudah kehilangan teks aslinya maka agama itu akan menjadi kebudayaan dan akhirnya kebenarannya juga patut dipertanyakan. Jadilah manusia yang berpancasila, manusia yang meyakini agama sebagai petunjuk laku dan tentu sumber rujukan diharapkan berasal dari rujukan asli tanpa kemudian ditafsirkan sendiri sekehendak hati. Assallamualaikum wr wb.. Selamat pagi, selamat beraktifitas, semoga Allah menunjuki jalan yang diridhoi.. Aamien. Surabaya, 11 Juli 2018 M. Isa Ansori Pegiat sosial dan perubahan perilaku Bagikan Ini, Supaya Mereka Juga Tau !