Anda berada di :
Rumah > Artikel Dan Opini > Ketika Kapitalisme Merambah Madura

Ketika Kapitalisme Merambah Madura

Dilihat 1543

Kalau Aceh dikenal dengan Serambi Mekkah, maka Madura dikenal sebagai serambi Madinah. Madura yang dikenal sebagai basis yang sangat kental sikap religiusnya, tiba tiba harus bersolek. Madura mulai menggeliat gemulai. Pelan tapi pasti. Gelagat betapa sumringahnya Madura bersolek, saya dua hari ini berkesempatan menyusuri jalan sepanjang Suramadu sisi Madura. Tentu hal ini sangat berbeda dengan waktu waktu sebelumnya. Betapa tidak, semenjak jembatan Suramadu diresmikan tak terlihat sikap pesolek Madura, jembatan Suramadu dibiarkan berdiri, Madura serasa tak bergairah meski jembatan Suramadu terlihat seksi.

Saat ini, sepanjang jalan Suramadu sisi Madura, mulai terlihat gerak gemulainya, beberapa hamparan tanah yang sebelumnya hanya terlihat sawah, saat ini, pelan tapi pasti, hamparan itu telah teruruk tanah bebatuan kapur yang dilindas oleh traktor traktor. Sebagai sebuah cikal bakal bangkitnya Madura, tentu pembangunan disepanjang jalan menjadi sebuah keniscayaan, karena pada dasarnya pembangunan itulah yang akan menjadi tanda bahwa banyak yang mulai tertarik menjamah serambi Madinah.

Pembangunan tentu akan diikuti dengan masuknya manusia ke daerah Madura. Setiap orang yang masuk bisa dipastikan akan membawa kepentingan dan ragam budaya. Nah pertanyaannya seperti apa kesiapan Madura menerima sang Kapitalis sebagai tamunya?

Kalau melihat data yang ada, Madura bisa dibilang sangat tertinggal dengan Surabaya yang berada disebelahnya. Surabaya jauh terlebih dahulu melesat keelokannya, bahkan pada sisi Surabaya Jembatan Suramadu, geliat pembangunan Surabaya dengan wajah kapitalisme nya sangat kentara terasa.

Bagaimana gedung gedung bertingkat dibangun, mall mall bertumbuh bak jamur dimusim hujan, dan tentu pembangunan itu membawa pesan perubahan budaya dan perilaku. Surabayapun telah mengalami geliat dinamika sosial akibat pesatnya pembangunan.

Tentu ada yang negatif dan ada yang positif. Sisi positifnya adalah wajah Surabaya semakin mempesona dan tentu mengundang banyak orang untuk datang menghampirinya. Itu juga berarti akan ada perubahan kualitas hidup manusianya, setidaknya geliat ekonomi akan bertambah dan pendidikan akan semakin menggelora.

Pada sisi negatifnya, Madura yang boleh dibilang masih bernuansa desa, bisa jadi akan menghadapi syndroma shock culture. Kepanikan menghadapi lompatan budaya, karena harus diakui, tatanan sosial yang sudah ada belum sepenuhnya disiapkan untuk bergelut intim dengan sang tamu kapitalismenya.

Lompatan budaya itu tentu akan mendorong terjadinya perubahan perilaku masyarakatnya, terutama kaum mudanya. Nah ditengah kondisi orang tua yang belum sepenuhnya disiapkan menyambut tamu Sang Kapitalis, Serbuan modal sudah meramba, lalu bagaimana Madura menyiapkan anak anaknya dalam menyambut tamunya?

Assalamnualaikum wr wb, selamat beraktifitas dan berkarya.

Bangkalan, 14 November 2018

M. Isa Ansori

Bagikan Ini, Supaya Mereka Juga Tau !

Tinggalkan Komentar

Top

Marhaban ya Ramadhan


 

This will close in 10 seconds