Anda berada di :
Rumah > Artikel Dan Opini > Buruh Meradang : Diupah Murah, PHK Dipermudah, Pesangon Dikurangi, Klaim JHT Dipersulit

Buruh Meradang : Diupah Murah, PHK Dipermudah, Pesangon Dikurangi, Klaim JHT Dipersulit

Buruh saat melakukan unjukrasa di depan gedung kemenaker

Dilihat 1544

Surabaya – Pemerintah seakan-akan tidak henti-hentinya menyengsarakan buruh. Sebelumnya melalui UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) telah mengkebiri kesejahteraan buruh. Dari mulai upah murah yang kenaikannya di Jawa Timur rata-rata hanya sebesar 0,75%. Bahkan ada 5 Kabupaten/Kota yang tidak mengalami kenaikan upah sama sekali, yaitu Kabupaten Malang, Kabupaten Jombang, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Jember dan Kabupaten Pacitan.

Kemudian prosedur PHK yang dipermudah dengan alasan efisiensi, yang sebelumnya di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, namun dihidupkan kembali dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law). Lebih parah lagi pesangon buruh yang ter-PHK tersebut hanya diberikan separuhnya (50%).

Terbaru Menteri ketenagakerjaan mengeluarkan regulasi yang mengatur soal jaminan hari tua (JHT) yang menentukan bahwa JHT tidak boleh diambil keseluruhan jika usia buruh belum mencapai 56 tahun. Beleid Menaker itu dituangkan dalam Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT.

Meskipun Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor: NO. 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan melarang Pemerintah untuk membuat peraturan baru, nyatanya Pemerintah dengan angkuhnya tetap memaksakan berlakunya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta aturan turuanannya.

Merespon hal tersebut, hari ini (16/02/2022) Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) serentak di seluruh Indonesia melakukan aksi demonstrasi. Khusus di Jawa Timur aksi demonstrasi di pusatkan di Gedung DPRD Provinsi Jawa Timur.

Aksi demonstrasi di Jawa Timur diikuti sekitar 1000 (seribu) orang massa buruh dari Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Pasuruan, Probolinggo, Jember, Lumajang, Banyuwangi, Jombang dan Tuban.

Massa aksi mulai bergerak bersama dari Kawasan Industri masing-masing untuk bertemu di titik kumpul utama di depan Mall Royal Plaza, Jl. Frontage A. Yani Surabaya sekitar pukul 11.00 WIB. Kemudian bersama-sama bergerak menuju Gedung DPRD Provinsi Jawa Timur untuk menyampaikan aspirasinya.

Adapun tuntutan aksi demonstrasi buruh yakni :

  1. DPRD Provinsi Jawa Timur agar mendesak Gubernur Jawa Timur untuk merevisi penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Timur tahun 2022 yang dituangkan dalam Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor: 188/783/KPTS/013/2021 tanggal 20 November 2021 dan lakukan pembahasan ulang UMP Jawa Timur tanpa menggunakan PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
  2. DPRD Provinsi Jawa Timur agar mendesak Gubernur Jawa Timur untuk merevisi Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/803/KPTS/013/2021 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di Jawa Timur Tahun 2022. Naikkan UMK di Jawa Timur tahun 2022 sebesar 7,05%, sesuai dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur yang mencatat pertumbuhan ekonomi Jawa Timur mencapai 7,05% pada triwulan II/2021.
  3. DPRD Provinsi Jawa Timur agar mendesak Gubernur Jawa Timur untuk segera menetapkan Upah Minimum Sektoral (UMSK) di Jawa Timur tahun 2022 sebagaimana usulan Bupati/Walikota dan hasil rapat Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Timur unsur Serikat Pekerja/Serikat.
  4. Mendesak DPRD Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk merekomendasikan kepada Pemerintah Pusat c.q. Kementerian Ketenagakerjaan agar membatalkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT yang mempersyaratkan usia buruh 56 tahun baru dapat mencairkan dana Penolakan terhadap Permenaker tersebut didasari oleh :
  • Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT ini bertentangan dengan PP No. 60 Tahun 2015 tentang Perubahan PP No. 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program JHT. PP No. 60 Tahun 2015 tersebut menghapuskan ketentuan yang mengatur bahwa manfaat JHT bagi peserta yang terkena PHK atau berhenti bekerja sebelum usia pensiun dibayarkan pada saat peserta mencapai usia 56 tahun, yang sebelumnya diatur dalam PP No. 46 Tahun 2015.
  • Dana JHT bukan pemberihan Pemerintah, tetapi merupakan iuran bersama antara buruh dan Pengusaha. Buruh membayar 2% dan pengusaha 3,7% sehingga totalnya menjadi 5,7%. JHT tersebut diibaratkan sebagai tabungan bagi buruh/pekerja untuk persiapan ketika pensiun. Terutama sebagai dana untuk menyambung kehidupannya pada saat tidak lagi menerima pendapatan rutin dari perusahaan. Jadi tidak tepat jika Pemerintah ikut mengatur bahkan mempersulit pencairan JHT
  • Tidak semua buruh yang terPHK mendapatkan pesangon. Khususnya mereka yang berstatus kontrak atau outsourcing. Tentu dana JHT inilah yang diharapkan dapat membantu perekonomian buruh paska PHK atau hanya untuk sekedar menyambung hidup hingga mendapatkan pekerjaan baru.
  • Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang digaung-gaungkan Pemerintah hanya halusinasi belaka. Faktanya program JKP tersebut sulit untuk diakses oleh pekerja/buruh korban PHK. Belum lagi persyaratan agar dapat didaftarkan sebagai peserta program JKP adalah harus mengikuti 5 program BPJS yaitu Jaminan Kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehayan, Jaminan Hari Tua, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian dan Jaminan pensiun yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Lagi-lagi buruh yang terPHK karena kontrak habis tidak berhak atas manfaat Manfaat JKP pun sangat terbatas. Hanya diterima paling banyak 6 bulan setelah PHK. Dan itu pun hanya menerima 45% upah untuk 3 bulan pertama dan 25% upah untuk 3 bulan berikutnya.
  • Saat ini kondisi ekonomi masih sulit akibat pandemi Covid-19, dan banyak buruh yang terPHK karena perusahaan melakukan efisiensi. Diharapkan pencairan dana JHT dapat membantu perekonomian buruh korban
  1. Segera lakukan pendandatangan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan BPJS Kesehatan, agar warga miskin/tidak mampu sebanyak 622.986 jiwa yang kepesertaannya nonaktif dapat aktif Kembali sehingga dapat digunakan untuk mengakses layanan kesehatan. Pasalnya di awal tahun 2022 sebanyak 622.986 warga miskin/tidak mampu Jawa Timur kepesertaan BPJS Kesehatannya dinonaktifkan sepihak oleh Pemprov Jatim. Penonaktifan tersebut dikarenakan tidak diperpanjangnya Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan BPJS Kesehatan, lebih lanjut karena Pemerintah Provinsi Jawa Timur tidak lagi menyediakan anggaran untuk iuran BPJS Kesehatan warga miskin/tidak mampu. Hal tersebut tidak sejalan dengan Instruksi Presiden RI Nomor: 8 Tahun 2018 dan Nomor: 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Salah satu poin dalam Inpres tersebut, Presiden Joko Widodo meminta kepada Gubernur se Indonesia untuk mengalokasikan anggaran dan pembiayaan iuran BPJS Kesehatan untuk warga miskin/tidak mampu yang didaftarkan oleh Pemerntah (Jazuli, SH)
Bagikan Ini, Supaya Mereka Juga Tau !

Tinggalkan Komentar

Top

Marhaban ya Ramadhan


 

This will close in 10 seconds