Bertanding Tanpa Sanding Artikel Dan Opini by Pimred - Maret 17, 20180 Dilihat 1549 Kidung sunyi tentang dendam itu tak henti dan didentum berkali kali, Dimulai dengan perebutan betis Ken Dedes, yang pada akhirnya Sang Raja Tunggul Amaetung terbujur kaku melalui keris empu Gandring yang dipamerkan oleh Kebo Ijo, dan kebo ijo akhirnya menjadi tertuduh, dan harus dihukum mati oleh sang pelaku skenario, Ken Arok. Ken Dedes menyimpan dendam, sambil mengandung sang putra mahkota, Anusapati. Dendam dan asmara Ken Dendes terhadap sang pengganti raja Tunggul Amaetung, Ken Arok terpendam rapi diatas semaian asmaranya. Anusapati sebagai anak yang lahir dari persemaian jiwa raga sang raja tereksekusi, mengalami nasib yang tak seindah sebagai putra mahkota. Seperti telah disinggung pada sejarah sebelumnya, setelah dinobatkan menjadi raja Singasari Ken Arok memiliki 4 orang anak dari Ken Dedes dan 3 orang anak dari Ken Umang. Seiring berjalannya waktu, anak-anak tersebut berkembang menjadi dewasa. Dendam Anusapati mulai tumbuh subur merasuk bersama taburan pupuk pilih kasih yang dilakukan Ken Arok terhadap putra putranya. Maka dimulailah dengan cara liciknya sebagai mana cara yang pernah dilakukan Ken Arok terhadap ayah kandungnya. Melalui tipu muslihatnya, Anusapati mulai menyusun rencananya. Setelah itu dia perintahkan seorang pengawal dari bathil untuk mengeksekusi Ken Arok. Disusunlah rencana eksekusi itu dan akhirnya Ken Arok terbujur kaku berkalang darah. Untuk menutupi jejaknya, maka sebagai mana yang pernah dilakukan oleh Ken Arok terhadap Kebo Ijo, Anusapati mengeksekusi bathil sebagai bagian menutup sejarah kelamnya. Begitulah sejarah kelam perebutan kekuasan berlangsung terus menerus. Bertanding tanpa ada keinginan untuk bersanding. Mengapa Bisa Terjadi ? Sejak awal pengetahuan kita tentang kejadian manusia sudah diajarkan bahwa untuk hidup diperlukan sebuah persaingan. Lalu dicarilah dalil pembenar bahwa ketika sel telur dibuahi oleh sperma, sejak awal sperma yang terlepas berjumlah milyaran benih dan hanya satu yang jadi, yaitu kita semua. Sehingga bisa dikatakan bahwa kita ini adalah sang pemenang. Sejarah pengetahuan kita terdistorsi menjadi sebuah persaingan, saling menyingkirkan, dan saling melenyapkan. Yang akhirnya harus saling mengalahkan. Uniknya lagi untuk bisa mengalahkan orang lain, kita juga diajarkan bagaimana menjadi pemenang. Sebagai mahluk yang berkebutuhan, manusia secara hakiki mempunyai kebutuhan yang harus dipuaskan. Id begitulah kata freud, sebagai pemburu kesenangan. Kadang dalam memenuhi kebutuhan akan rasa senangnya, manusia mempunyai bakat saling mengalahkan dan menghalalkan cara. Sehingga terbangunlah pola hubungan yang dalam transaksional analysis dikategorikan oleh Bern sebagai hubungan yang ” I am ok, you are not ok “. Semangatnya menghancurkan, melemahkan, mengalahkan dengan berbagai cara agar dirinya terpuaskan. Tidak ada yang benar kecuali saya, begitulah biasanya yang terpelihara didalam alam batin dan pikirannya.” Machiavelis “. Tradisi kekerasan itupun sekarang juga menjadi tradisi kita bergaul dan berkomunikasi. Kita bisa saksikan betapa orang melawan orang lain karena kepentingannya tidak sama, yang pada gilirannya kemudian kebenaran hanya diukur dari kepentingan yang dia bangun. Tradisi bermasyarakat kita yang bertanding inipun kemudian merasuki jiwa para pemimpin dan para predator yang berkepentingan atas pemenuhan kepuasannya. Mereka tak akan bisa ketemu dan berdialog, kecuali kepentingan yang dia miliki bisa terpuaskan. Freud menyebutnya sebagai bagian dari nafsu hewani manusia. Bisa anda bayangkan sebuah episiode kehidupan , dimana masyarakatnya berkembang dalam tradisi saling bersaing. Apa yang akan terjadi ? Tidak akan pernah terjadi harmonisasi. Lihatlah sekarang para politisi kita, saling menjatuhkan dan saling melemahkan, lalu amatilah mereka yang mengaku sebagai aktifis, mereka menjadi kehilangan gairah bersinergi, mereka lebih suka menyakiti dan mengadili, tak ada yang benar kecuali saya dan siapa saja yang bisa memuaskan kepentingan saya. Gerak laku yang disemai adalah gerak laku bertanding tak mau bersanding. Mereka yang gemar bertanding tak mau bersanding adalah bagian dari sebuah dinamisasi kehidupan. Tapi apakah sebuah peristiwa perilaku itu terjadi tanpa suatu sebab ? Pavlov mengingatkan kita tentang terjadinya stimulus dan respon. Respon kita terhadap sebuah persoalan dengan cara yang selalu menyalahkan karena tak sebaris kepentingan, biasanya dipengaruhi oleh sebuah pengalaman masa lalu, misalnya kita tak pernah punya kesempatan untuk diapresiasi, kita selalu disalahkan, maka suatu saat bila kita mempunyai momentum yang tepat, pada saat itulah waktu yang tepat untuk menumpahkan perasaan terhambat kita. Pada akhirnya bahwa perilaku itu banyak dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, bisa jadi semangat bertanding kita hari ini dalam hidup adalah buah dari perlakuan tidak menyenangkan masa lalu kita. Bagaimana Mencegahnya ? Laku hidup merupakan sebuah potret siapa kita, sehingga untuk menjadikan diri sebagai pribadi yang berdamping, maka pembiasaan perilaku bersanding perlu dilakukan. Sekolah dan rumah adalah hamparan pembiasaan. Perilaku yang dibiasakan maka akan membentuk sebuah harmoni kehidupan tanpa persaingan dan pertandingan. itulah yang dianggap sebagai hidup yang berkebudayaan. Berdamai adalah kata kunci hidup berdampingan, hidup yang bersanding tanpa bertanding. Semoga bermanfaat… !!! Firman Allah swt: “Dan orang-orang yang mengganggu dan menyakiti orang-orang mukmin lelaki dan perempuan yang beriman, dengan perkataan atau perbuatan yang tidak tepat atau sesuatu kesalahan yang tidak dilakukannya, maka sesungguhnya mereka telah memikul kesalahan menuduh secara dusta dan berbuat dosa yang amat nyata.” (Surah Al-Ahzab, 33; Ayat 58) Hai orang- orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari praangka itu dosa. Dan janganlah mencari- cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al- Hujurat[49]: 12) Assalamualaikum wr wb… Selamat pagi, selamat beraktifitas, semoga Allah menjauhkan kita dari sikap pribadi yang senang melihat dan melemahkan orang lain. Ya Allah mudahkan hati kami untuk berlapang dada dan sanggup menerima kebenaran dari pihak lain, meskipun itu pahit, Jauhkan kami dari sikap sombong yaitu sikap yang hanya mementingkan pribadi dan kelompok yang hanya bisa memuaskan kepentingan pribadi. Aamiien Surabaya, 17 Maret 2018 Penulis : Isa Ansori Pembelajar Laku berbudaya, Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak Jatim, Anggota Dewan Pendidikan Jatim, Pengajar di STT Malang dan Untag 1945 Surabaya Bagikan Ini, Supaya Mereka Juga Tau !